Sejak dahulu negri Aceh sudah dikenal sebagai negeri islam yang banyak terdapat para wali Allah dan ulamanya. oleh sebab itu wajarlah jika Rasulullah pernah menyebut nama Aceh sebagai negeri para ulama, hingga hari ini yang kita kenal sebagai negeri Serambi Mekkah. (baca artikel : Inilah Bukti Bahwa Rasulullah Pernah Menyebut Nama Aceh). Ada banyak ulama masyhur di Aceh namun disini hanya disebutkan 3 ulama besar saja, karena dari 3 ulama ini para ulama-ulama lain berasal dari mereka. Lalu siapakah ulama tersebut ? berikut penjelasannyanya :
Syeikh Hamzah Fanzuri
Beliau adalah tokoh sufi yang terkenal di Aceh. Hamzah Fansuri di lahir dilahirkan di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam. Beliau banyak merantau untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa.
Para Sarjana tidaklah meragukan keadaan pribadinya, dapat dipastikan bahwa ia dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan sayyid mukammil sebagai gelarnya. Hal keadaan ini sebagai isyarat yang terlihat dalam syairnya yang berbunyi sebagai berikut:
Hamba mengikat syair ini
Di bawah hadhrat Raja yang wali
Syah Alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamil
Wali Allah sempurna wasil, Raja arif lagi mukammil
Tentang dirinya beliau bersyair:
Hamzah ni asalnya fansuri
Mendapat wujud di tanah syahr nawi
Beroleh khilafat ilmu yang ali
Dari pada Abdul Qadir Sayyid Jailani
Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.
Ketika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil dan di Oboh itulah (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau di makamkan di sebuah kuburan di desa ini dan dipandang oleh masyarakat banyak sebagai kuburan Hamzah Fansuri.
Bersama-sama dengan Syeikh Syamsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran wujudiyah (seorang alim yang telah sampai kepada makrifat wahdatul wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin Sumatrani, dimana ia kerapkali mengutip ungkapan-ungkapan Hamzah Fansuri. Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh Nuruddin Ar-Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi mufti kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan Iskandar Tsani, pada hal karya Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin. Kebanyakan dari karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu tasawuf dan ilmu syara’. Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka di Barus, dan Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang letaknya di selatan Aceh.
Hal keadaan di atas telah diungkapkan oleh Prof. DR. Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Syamsuddin as-Sumatrani
Beliau adalah tokoh ulama besar dan pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as Sumatrani; sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan tiga dasa warsa pertama abad ke-17.
Gurunya yang utama ialah Hamzah Fansuri dan pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain. Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau memegang jabatan yang tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau dilantik sebagai penasehat kepada kedua sultan tersebut. Beliau juga pernah diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang terdiri dalam Kerajaan Aceh (orang yang kedua penting dalam kerajaan). Beliau mengetuai Balai Gading (balai khusus yang di anggotai oleh tujuh orang ulama dan delapan orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat pengajaran Baiturrahman.
Sekalipun mengikut faham aliran tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk musuhnya Syekh Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M pada zaman Sultan Iskandar Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau diantaranya Syarah Ruba’i Fansuri (uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.
Wal hasil beliau adalah seorang ulama besar fiqh dan tasawuf. Dalam hal ini seorang pelaut Belanda bernama Frederick de Houtman (1599M/1008H) yang ditawan di Banda Aceh, dia menyebutkan dalam bukunya tentang Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syekh, penasehat agung raja.
Demikian juga Duta Kerajaan Inggris Sir James Lancaster yang datang ke istana Sultan Aceh (1602 M/1011 H) menyebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani adalah chiefe bishope (imam kepala) yang dihormati raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa dan ikut dalam perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung pada kesimpulan bahwa Syekh yang menjadi penasehat agung raja itu dan imam kepala tersebut tidak lain dari pada Syekh Syamsuddin Sumatrani. Bahkan ada sarjana yang menetapkan bahwa Syekh ini baik pada masa Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) maupun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M/1016 – 1045 H) diangkat menjadi Qadi Al Malikul Adil, orang kedua dalam barisan ulama besar Aceh pada zaman dahulu.
Demikian kebesaran Syamsuddin Sumatrani, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, Insya Allah Bapak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memperkenankan undangan Ketua Menteri Melaka untuk meresmikan penanaman batu nisan pada kuburan Syeikh Syamsuddin Sumatrani. Undangan ini sudah lama dan insya allah dalam waktu singkat beliau mempunyai waktu untuk upacara terhormat atas Syamsuddin Sumatrani yang syahid di Melaka. Dan mudah-mudahan beliau dengan rakyat Aceh diberikan berkah oleh Allah dalam memimpin Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Syekh Nuruddin ar-Raniry
Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al Quraisyi Asy Syafi’ie. Ia wafat pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di negeri kelahirannya di kota pelabuhan Ranir (Rander) Gujarat India, tetapi tidak diketahui tahun kelahirannya. Beliau seorang ulama besar, penulis, ahli fikir, dan Syekh Thariqat Rifa’iyyah di India yang merantau dan menetap di Aceh. Ia lahir sekitar pertengahan ke dua abad ke-16. Pendidikan awalnya dalam masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahirannya sendiri.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim Arab Selatan. Kota ini adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu. Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030 H), ia kembali ke India. Setelah kembali ke India dan mengajar di samping sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah ia merantau ke nusantara dan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh karena itu telah Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang telah jatuh kepada penguasaan portugis. Mungkin juga ia mau mengikuti jejak pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin Muhammad Hamid Ar-Raniry yang telah tiba di Aceh pada 1588 M berkat kesungguhannya ia berhasil menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah dan bermazhab syafi’ie dalam lapangan fiqh.
Pada tahun 1621 atau 1030 H ia berada di Makkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji dan setelah kembali ke India. Setelah itu untuk kali yang kedua ia kembali ke Aceh. Pada tahun 1620-an (1030-an H) dan menelaah faham wujudiyah yang sedang berkembang di kalangan murid-murid Syekh Syamsuddin Sumatrani. Hubungan baik Ar-Raniry dengan Sultan Iskandar Tsani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan ajaran dan faham mistik yang dibawanya. Peluang itu lebih berkembang lagi terutama setelah ia diangkat sebagai mufti kerajaan Aceh. Ia menentang faham wujudiyah yang sesat yang berkembang di Aceh pada waktu itu. Jadi untuk menyanggah pendapat dan faham wujudiyah yang sesat itu ia sengaja menulis beberapa kitab di samping juga ia menyanggah ajaran wujudiyah yang sesat yang tidak sejalan dengan ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Al Quraisyi pada laqab namanya menunjukkan ia dari kabilah yang besar dan terhormat yaitu Quraisy. Asy Syafi’ie mengungkapkan bahwa ia bermazhab Syafi’ie yang tidak perlu diragukan oleh rakyat Aceh. Ia berthariqat dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf al Fansuri karena sama-sama penganut thariqat suffiyah dan bermazhab Imam Syafi’ie r.a.
Namun yang sangat ditentangkan olehnya adalah para pengikut wujudiyah yang sesat. Dengan demikian maka tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Mungkin sejarawan yang lain seperti menulis ada pertentangan menurut saya antara ulama-ulama besar itu tidak ada sesat menyesatkan antara mereka dan terjadi perbedaan politik oleh karena ada kaitan dengan kerajaan itu sah-sah saja. Kalaupun ada pertentangan ada pertentangan antara keduanya bukanlah perbedaan dalam masalah syariat, thariqat dan hakikat, akan tetapi tidak lebih untuk kepentingan rakyat dan kerajaan semata karena masa senantiasa berubah. Dan setelah meninggal Sultan Iskandar Tsani maka kedudukannya selaku qadi malikul adil dilanjutkan pada Sultanah Ratu Saifatuddin (1641 – 1675 M) di samping beliau menjadi guru besar ilmu-ilmu pengetahuan Islam di mesjid Raya Baiturrahman.
Syekh Abdurrauf As Singkily
Beliau adalah salah satu dari empat ulama terkemuka yang pernah muncul di Aceh pada abad ke-17. Sedang yang tiga lagi adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615 M (1035 H) di Singkil yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh, sekampung dengan Syekh Hamzah Fansuri dan juga putra dari saudara Syekh Hamzah Fansuri sendiri. Ia tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh pada masa negeri itu sedang berada dalam puncak kejayaan di bawah pimpinan sultannya yang terbesar, Sultan Iskandar Muda.
Demi untuk lebih memperdalam atau memperluas pengetahuan agamanya, ia berangkat ke negeri Arab sekitar tahun 1643 M (1064 H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang berada kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.
Abdurrauf tidak segera langsung menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu, yakni tasawuf dan thariqat. Setelah belajar di Madinah pada Syekh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh ijazah dari pimpinan thariqat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan Thariqat Syatthariyah itu pada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru pada tempat lain. Banyak guru-guru besar yang ia mendapatkan ijazah ilmu pengetahuan dari padanya selama 19 tahun ia menuntut ilmu pengetahuan itu. Ia pulang ke Aceh sebagai seorang ulama yang luas dalam ilmunya. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), boleh jadi peranannya sebagai pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah, menjelang pulang ke Aceh, seperti yang disimpulkan oleh Snouck Houghranje dari penelitiannya atas silsilah-silsilah thariqat, yang tidak hanya tersebar di Sumatra tetapi juga di Jawa, yang sudah pasti beliau sesudah berada di Aceh, aktif mengajar dan tercatat sebagai ulama Indonesia yang menjadi mata rantai pertama dalam silsilah thariqat Syatthariah yang mengajar di Sumatra, Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia. Ia mengajar di Kuala atau muara krueng Aceh sampai wafat di sana pada tahun 1693 M (1105 H). Karena mengajar dan berkubur di kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Syiah Kuala. Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya sebagai mufti kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641 - 1675 M). Banyak karangan beliau baik dalam ilmu tafsir dan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan ilmu-ilmu lain.
Seperti halnya Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As Singkili, beliau juga menganut faham wahdatul wujud yang benar, yakni bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah, sedangkan alam adalah ciptaannya bukanlah wujud hakiki, tetapi wujud bayangan yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan demikian bahwa tuhan lain dari alam atau alam lain dari tuhan. Kendati begitu antara bayangan alam dengan yang memancarkan bayangan (Tuhan) itu terdapat keserupaan pada alam yang tampak ini. Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) secara tidak langsung. Pada manusia khususnya sifat-sifat tuhan secara tidak langsung menampakkan diri dengan sempurna dan relatif sempurna pada insan kamil (manusia sempurna). Tujuan thariqat yang diajarkannya tidak lain dari memfanakan (menyinarkan) apa saja selain Allah dari kesadaran batin manusia melalui pengamalan beberapa macam zikir.
Sumber :
BUKU PAHAM WUJUDIAH
Karya :
Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Muhammad Waly
Unknown
8:46 PM
New Google SEO
Bandung, IndonesiaInilah 4 Ulama Besar Kerajaan Aceh yang Sangat Berpengaruh
Posted by SEJARAH ACEH on Wednesday, April 5, 2017
PUSA yang merupakan singkatan daru Perserikatan Ulama Seluruh Aceh, didirikan pada tahun 1939, sebagai hasil Muktamar Ulama Aceh yang berlangsung di Glumpang Dua Aceh Utara. PUSA sebagai organisasi agama non politik yang berpolitik. Berdirinya organisasi ini disebabkan adanya larangan berdirinya partai-partai politik.
Pendiri PUSA ini terdiri atas para ulama, yang beberapa tahun sebelum lahirnya organisasi ini telah mendirikan dan memiliki organisasi keagamaan, seperti Al Jam’iyyah At Taqiyyah, Al Jam’iyyah Khairiyyah, Al jam’iyyah Al Diniyyah dan lain-lain. Para ulam itu mempunyai dayah sendiri-sendiri dan setelah adanya pembaharuan sistem pendidikan Islam, nama dayah tadi diubah menjadi Madrasah. Namun demikian masih juga terdapat kata “dayah” untuk pengertian pesantren dan madrasah yang merupakan pendidikan berbentuk sekolah.
Para ulama yang memengang tampuk pimpinan utama PUSA adalah Tengku Muhammad Daud Beureuh, Tengku Abdurrahman Meunasah Meucap, Tengku Abdul Wahab Seulimuem, Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Tengku Amir Husein, Al Mujahid, tengku Muhammad Nur al-Ibrahimy, Tengku Syeikh Abdul Hamid Samalanga, Tengku Muhammad Amin, Tengku Hasan Hanafiah Lhok Bubon, Tengku Zamzami Yahya Tapak Tuan, Tengku Muhammad Dahlan Masjid Raya, Tengku Muhammad Amien Alue.
Namun dalam deratan daftar nama di atas, nama Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, tidak termasuk di dalamnya padahal beliu mempunyai pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar. Dan ke’aliman beliau diakui oleh semua ulama Aceh. Bahakan kalau tidak salah, Tengku Muhammad Daud Bereueh pernah pula belajar mengaji di pesantren beliau. Itulah sebabnya, maka kebayakan murid-murid Tengku Haji Krueng Kalee seperti Tengku Muhammad Amien Jumphoh di Kabupaten Pidie, Tengku Abdul Jalil dari Lhokseumawe dan ayahku (Tengku Syeikh Haji Muhammad Waly) berada dalam kelompok ulama Non PUSA.
Barangkali ini disebabkan, karena pada zaman itu di Aceh terkenal dua istilah, yaitu kaum Muda dan kaum Tua. Perbedaaan antara keduanya sangat mendasar. Para ulama PUSA dan pemuda-nya disebut Kaum Muda dan para ulama Non PUSA disebut Kaum Tua. Hal ini disebabkan pemuda-pemuda yang belajar ke Sumatra Barat, baik yang masuk perguruan Normal Islam Pimpinan Prof.Mahmud Yunus atau bukan, sekembalinya ke daerah Aceh, bergabung dengan PUSA. Sedangkan pendiri PUSA, kegiatanya sebagai pemimpin melebihi kegiatan ulama yang semestinya tekun di pesantren dan menyebarkan ilmu-ilmu agama kepada para santri, agar mereka kelak menjadi ulama. Karena itulah para ulama seperti Syeikh Haji hasan Krueng Kalee, lebih mengutamakan bidang keulamaan, termasuk juga ayah, Syeikh Haji Muhammad Waly sedangkan dalam hal-hal yang bersifat politik cukup diserahkan kepada murid-murid beliau, apakah Hulubalang atau Raja atau Pemimpin dan pedagang. Penyebab yang lebih menonjol, sehingga para ulama non PUSA enggan bergabung dengan PUSA, bukan Karena tidak setuju dengan cita-cita PUSA semula yang memang baik untuk kepentingan meninggikan Islam, tetapi karena pada kenyatanyaan pemuda-pemuda mereka, bahkan sebagian ulamanya telah terpengaruh dengan paham Wahabi, yakni paham keagamaan yang sudah menyimpang dari kitab-kitab Islam yang selama ini telah berkembang di daerah Aceh.
Inilah yang menyebabkan terjadinya perdebatan besar di Blang Pidie Aceh Selatan, antara Tengku Sufi dari ulama PUSA dengan ulama non PUSA, sehingga akhirnya ayah turun tangan menunjang paham keagamaan ahlussunnah wal jama’ah, seperti yang berkembang sejak jaman dahulu di daerah Aceh. Justru hal itulah yang menyebabkan para ulama PUSA di Aceh Barat dan Selatan, bahkan juga di Aceh lain tidak berkembang dalam misinya.
Sesungguhpun demikian, dalam menghadapi penjajah, baik kolonial Belanda dan Jepang, para ulama Aceh, baik yang tergabung dalam PUSA atau non PUSA, tetap bersatu. Bahkan semangat jihad keagaamaan yang didasarkan keihklasan dan mencari ridha Allah yang murni telah diperlihatkan ulama non PUSA, sementara PUSA dan pemudanya masih belum sampai kepada tinggkat keyakinan tersebut. Kita melihat bukti nyata dalam sejarah, yakni menjelang akhir tahun 1942 telah terjadi jihad fi sabilillah yang di pimpin oleh Tengku Abdul Jalil, seorang ulama muda, yang berasal dari Buloh Blang Ara Lhokseumawe. Dia dengan jama’ahnya memberontak terhadap Jepang, terutama setelah kekejaman tentara Jepang dan juga setelah keluarnya perrintah kirei(hormat) kepada Tenno heika dengan menghadap ke Tokyo.
Meskipun Jepang melakukan politik dua muka, satu muka dihadapkan kepada para ulama dan satu lagi kepada Raja dan Hulubalang, dimana dengan kedua muka itu, Jepang berusaha menyukseskan dan memenangkan perang Asia Timur Raya, yaitu dengan cara menganjurkan rakyat mengumpulkan padi, membuat lapangan terbang, jalan, benteng, namun niat buruk Jepang membelakangi ulama non PUSA, tidak berhasil, karena Raja dan Hulubalang merasa terhimbau untuk berada di belakang para ulama, karena keihklasan dan tuntunan mereka yang betul-betul mencari keridhaan Allah. Di samping mereka juga berjalan pada garis-garis ulama Aceh sebelumnya dan mereka senantiasa konsekuen terhadapnya, kapan dan dimanapun mereka berada. Inilah yang aku ketahui mengenai ayahku di jaman Jepang. Meskipun umurku waktu itu sekitar 8 tahun, tetapi aku sudah dapat merasakan adanya perbedaan di kalangan para ulama Aceh, demi kepentingan Islam dan ketinggian Islam, mereka tetap bersatu.
MAKLUMAT PUSA
Dokumen Fatwa yang ditulis oleh Ulama Pusa (Ulama Kaum Muda) tanpa disertai Syeikh Haji Hasan Krueng Kalee dan Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy (Ulama Kaum Tua)
BERIKUT TULISAN PADA MAKLUMAT TERSEBUT
Maklumat Bersama
Kami ulama ulama Atjeh, Pengurus2 Agama, Hakim2 Agama dan Pemimpin2 Sekolah Islam Keresidenan Atjeh yang berlangsung mulai tgl 20-24 Maret 1948 di Kuta Radja.
Memperhatikan
Bahwa hal – hal jang tersebut di bawah ini jaitu :
1. Kenduri kematian (kenduri pada hari kematian, kenduri djirat, kenduri seperti seunudjoh dan sebagainya.
2. Kenduri Maulid seperti jang makrup dan banyak di kerjakan di zaman lampau.
3. Kenduri pada perkuburan (seperti pada perkuburan Tgk Di Andjong, Po tjut Samalanga, Po Tjut Di Barat dan sebagainya. Kenduri di tepi laut, di babah Djurung di bawah pohon pohon jang besar di hutan dan sebagainya jang menurut anggapan penduduk untuk melepaskan Nazar dan Tulak Bala.
4. Memberi sedekah pada hari kematian (sedekah waktu majat turun dari rumah, setelah sembahjang djenadjah pada perkuburan dan sebagainya).
5. Mengawal Perkuburan seperti yg berlaku dan banjak di kerdjakan di zaman jang lampau.
6. Bang (azan) waktu memasukkan majat ke dalam kubur.
7. Membina perkuburan (membuat tembok sekeliling kubur, membuat sesuatu Bina di atas kubur).
8. Ratib Salik dan Ratib di perkuburan seperti jang berlaku dan banjak dikerdjakan di zaman jang lampau.
9. Membaca Al Qur An di rumah orang mati, seperti adat jang telah berlaku. Begitu djuga di perkuburan telah menjadi adat jang menurut anggapan penduduk tidak boleh di tinggalkan karena di sangka termasuk dalam Agama pada hal tidak.
Mengetahui
Bahwa di dalam Agama tidak ada satu alasan atau Dalil dari kitab Allah, Sunnah Rasulullah, Idjma’ Ulama dan Kias jang menunjukkan bahwa Pekerjaan – pekerdjaan itu disuruh atau sekurang kurangnya di izinkan mengerdjakan.
Menimbang
a. Bahwa hal – hal tersebut :
Sebahagiannya merusakkan Tekad Ketauhidan Kaum Muslimin.
b. Sebahagiannya melemahkan semangat beribadat.
c. Sebahagiannya membawa kepada membuang harta pada bukan tempatnya (Tabzir) jang dilarang oleh Agama.
d. Umumnya mencemarkan nama Islam dan Kaumuslimin di mata Dunia.
Memutuskan
1. Pekerdjaan tersebut tidak di izinkan oleh Agama mengerdjakannya.
2. Setjepat mungkin pekerdjaan – pekerdjaan itu mulai di tinggalkan.
Demikian supaya seluruh masyarakat Kaum Muslimin mendapat maklum dan mengamalkan keputusan ini.
Namun apakah antara dua ulama besar seperti Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy dengan Abu Daud Beureueuh adalah benar berselisih ?
Sumber :
Buku Ayah Kami (Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
Saya tertarik dengan pribadi Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy, karena dalam beberapa hal kami mempunyai kesamaan, mislanya masalah “Republik”. Kami sama-sama mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti kami sama-sama nasionalis sejati.
Teungku Muda Waly termasuk ulama yang menentang DI/TII yang diproklamirkan oleh Teungku Daud Beureueh. Saya tidak menentang tapi saya tidak terlibat di dalamnya.
Ketika ulama PUSA ramai-ramai terjun dalam perjuangan untuk memisahkan diri dengan Republik Indonesia, Teungku Muda Waly justru berfatwa : “Tidak sah menentang pemerintah yang sah.” Menurutnya melawan pemerintah yang sah hukumnya Bughah. Karena fatwanya itu beliau sangat disayang oleh Presiden Soekarno dan dianggap seorang ulama yang nasionalis. Sebenarnya bukan hanya Muda Waly yang tidak bergabung dalam PUSA, tapi ada beberapa ulama besar lain, seperti Teungku H. Hasan Krueng Kalee dan Teungku Abdul Jalil Buloh Blang Ara. Kemungkinan Muda Waly tidak mau bergabung dalam PUSA karena organisasi ulama tersebut telah dikuasai oleh orang-orang yang menerima pembaruan.
Hal lain yang mendukung kebesaran Muda Waly, karena beliau “istiqamah” dengan paham tradisionalnya, yakni bermazhab Syafi’i yang Ahlusunnah wal Jama’ah. Berbeda dengan ulama lain pada waktu itu yang terpengaruh dengan paham “pembaruan” dari Minangkabau. Teungku Daud Beureuh, Teungku Wahab Seulimuem, Teungku Nur al-Ibrahimy, dan juga saya waktu itu memang sudah menerima pikiran Muhammad Abduh dari Mesir dikirim oleh ulama Aceh di Mekkah Syeikh Hamid Samalanga.
Karena tidak terlibat dalam politik PUSA, Muda Waly menfokuskan diri mengasuh dayahnya di Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan dan berhasil. Banyak murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal. Setelah selesai mengaji mereka pulang ke daerah masing-masing membangun dayah baru. Ini jelas sebuah keberhasilan yang tak ada tara bandingannya. Dengan keberhasilan murid-muridnya, nama Teungku Muda Waly semakin harum di Tanah Aceh, apalagi beliau menganut Thareqat Naqsyabandiyah. Perlu diingat, thareqat adalah salah satu sebab seorang guru semakin kharismatik di mata murid-muridnya.
Yang terkahir, kami kagum pada Teungku Muda Waly karena berhasil mendidik anak-anaknya menjadi ulama seperti Teungku Muhibbuddin Waly, Muhammad Natsir Waly, Jamaluddin Waly, Mawardi Waly dan Amran Waly. Dengan anak-anaknya yang berhasil, maka dayah Darussalam masih hidup sampai sekarang.
Waktu saya menjabat Gubernur, dalam satu kunjungan dinas ke Aceh Selatan, saya pernah singgah di dayahnya. Saya diterima dengan baik sebagai seorang kepala daerah. Hubungan saya dengan beliau sangat baik, sampai beliau meninggal tahun 1961. Sekarangpun hubungan saya dengan anak-anak almarhum sangat baik. Belum lama (sebelum almarhum) ini Muhibbuddin Waly datang kerumah menjenguk saya yang baru sembuh dari sakit.
Sumber :
Buku Ayah Kami (Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
Abuya Muda Waly dimata H. Ali Hasyimi (Mantan Gubernur Aceh ke-6)
Posted by SEJARAH ACEH on Saturday, March 18, 2017
Sekitar awal tahun 1954
Gubernur Sumatera Utara (Medan) Mr. S.M. Amin, Residen Aceh Abd. Razak dan
pembesar-pembesar daerah lainnya dengan dideking oleh sebuah kompi Brimob
mengunjungi Pesantren Darussalam. Setibanya gubernur dan rombongan di pintu
gerbang Darussalam, kami dan rakyat sekitarnya telah siap menunggu kedatangan
rombongan gubernur dengan upacara sambutan ala Darussalam. Seterusnya kami
persilahkan gubernur dan rombongan untuk mengambil tempat di kursi yang telah
kami sediakan, sedangkan di antara
gubernur dan residen tersedia kursi yang masih kosong, kemudian saya (Tgk.
Keumala) menjemput Abuya untuk menghadiri majelis. Setibanya Abuya di pintu
ruangan, saya berseru: “Dengan hormat para undangan berdiri!”. Abuya masuk
ruangan. Setelah Abuya menyalami gubernur dan residen, “para undangan mohon
duduk kembali!”. Seterusnya majelis dibuka oleh Nyak Diwan. “Bapak Gubernur
dipersilahkan!”...
Inti sari pidato gubernur :
“Pemerintah
sangat bersedih hati dan prihatin atas meletusnya peristiwa DI/TII di Aceh ini,
yang telah banyak menelan korban, baik harta benda dan nyawa maupun sarana dan
prasarana lainnya. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama bahu membahu
berusaha untuk menciptakan keamanan dan kedamaian, sehingga kita dapat
melaksanakan tugas sehari-hari yang menyangkut dengan agama dan negara.
Seterusnya atas nama pemerintah gubernur menyampaikan rasa terima kasih yang
sebanyak-banyaknya kepada Abuya yang telah memberikan sumbangsih yang
sebesar-besarnya kepada terciptanya kembali keamanan di daerah Aceh khususnya
dan daerah-daerah lain pada umumnya di Indonesia.”
Demikian gubernur.
Abuya dipersilahkan!
Intisari kata sambutan Abuya:
“Peristiwa Aceh
yang dahsyat itu berasal dari salah penafsiran nash Qur’an dan Hadits oleh para
ulama yang telah mendukung peristiwa tersebut, oleh karenanya andai kata para
ulama itu dapat didatangkan atau datang ke Darussalam ini, insya Allah saya
akan dapat memberikan penafsiran yang benar tentang hukum peristiwa yang sedang
bergejolak”.
Demikian Abuya.
Seterusnya para
hadirin beristirahat sambil minum teh, lalu saya (Tgk. Keumala) mendekati
gubernur memohon kepadanya atas nama Abuya dan ribuan murid di Darussalam agar
diberikan sebuah kantor pos pembantu di Labuhan Haji, demi kemudahan kami tentang urusan pos. Gubernur menjawab :
“Ya! Saya terima dan saya laksanakan.” Itulah kantor pos Labuhan Haji. Akhirnya
gubernur dan rombongan meninggalkam Darussalam.
Tidak lama setelah gubernur
mengunjungi Darussalam Abuya diundang oleh presiden RI I Soekarno ke Jakarta,
kami rasa undangan ini sangat rapat hubungannya dengan isi kungjungan gubernur
ke Darussalam. Rupanya undangan ini bukan saja kepada Abuya akan tetapi
undangan yang sama ditujukan kepada tokoh-tokoh ulama di daerahnya
masing-masing ada peristiwa yang sama, sekalipun tidak serupa. Di antara tokoh
ulama Aceh yang diundang antara lain Abuya sendiri, Abu Hasan Krueng Kalee dan
beberapa orang pengikutnya. Berangkatlah mereka melalui bandara Polonia Medan
yang mana saya sendiri (Tgk. Keumala) ikut
mengantarkan mereka ke bandara. Setibanya di Jakarta Abuya menemui
puluhan tokoh-tokoh ulama daerah yang diantara lain dari Padang, Jawa Barat,
Maluku, dan lain-lain. Setelah berkumpul para ulama-ulama di istana negara,
lalu presiden mennyatakan selamat datang dan menyampaikan maksud dan tujuan
undangannya. Presiden berkata : “Saya minta kepada para ulama yang hadir untuk
merumuskan nama keberadaan dan kedudukan saya sebagai Presiden RI.”
Lalu para ulama merumuskan dan sepakat atas usulan Abuya dengan
nama :
اُوْلىِ اْلاَمْرِ الضَّرُوْرِى بِالشَّوْكَةَ
Ulil Amri adh-Dharuuriy bisy syaukah
(Pemimpin Tertinggi Darurat Panglima Angkatan Bersenjata R.I)
Menurut riwayat lain, ketika Abuya Muda datang menemui para alim ulam diseluruh indonesia, saat itu tidak semua para ulama setuju mengangkat Soekarno Menjadi pemimpin negara, karena secara islam syarat menjadi seorang pemimpin haruslah menguasai beberapa ketentuna islam. Namun lain halnya dengan Abuya, saat itu abuya menjelaskan bahwa kepemimpinan Soekarno adalah sah, saat itulah beliau menyuruh para alim ulama untuk membaca sebuah kitab yang bernama "Tuhfatul Muhtaj", sebuah kitab yang menjelaskan tentang kumpulan rincian masalah hukum fiqih dalam islam. (kitab ini merupakan kitab tertinggi untuk semua kalangan pesantren di aceh). Setelah itu maka para ulama membaca kitab tersebut dan juga membaca beberapa kitab yang disarankan oleh Abuya selain kitab Tuhfah. Al-Hasil pendapat pada awalnya mereka mengatakan Soekarno tidak sah secara islam dan sekarang mereka mengakui bahwa apa yang diungkapkan oleh Abuya adalah benar. Saat itulah Soekarno dinobatkan sebagai Presiden Pertama R.I.
Setelah
memutuskan nama yang telah disepakati, lalu Abuya sebagai ketua majelis dengan
didampingi Menteri Agama K.H. Masykur melaporkan kepada Presiden, dan Presiden
mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Akhirnya para ulama meninggalkan istana
menuju ke daerahnya masing-masing. Dan kepada abauya khususnya presiden
menghadiahkan satu unit mesin listrik bertenaga tinggi, mesin itu dimuatkan di
Medan melalui Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin ke dalam sebuah kapal laut.
Abuya, Bupati Aceh Selatan (Kamarusyid) dan saya sendiri (Tgk. Keumala) ikut
bersama-sama melalui laut menuju Aceh Selatan. Inilah satu-satunya mesin
listrik dari pesantren pesantren lainnya di daerah Aceh.
Sumber :
Buku Ayah Kami
(Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
Kisah Pengangkatan Soekarno Sebagai Presiden Oleh Abuya Muda Waly
Posted by SEJARAH ACEH on Friday, March 10, 2017
Setiap Hamba Allah yang dimuliakan oleh-Nya pastilah ada kelebihan yang dianugrahkan, baik karomah yang ada pada dirinya sendiri ataupun karamah yang bisa diberikan kepada orang lain. Mereka yang dimaksudkan disini adalah Para Ulama dan Wali-Wali Allah yang senantiasa terus istiqamah dalam ilmu dan dzikirnya. Maka demikian jugalah yang terjadi pada Seorang Ulama Besar Aceh, bernama Syeikh Muda Waly Al-Khalidy.
Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai Ulama Kondang, yang selalu istiqamah setiap dalam dakwahnya untuk mengembangkan ajaran Rasulullah SAW. tidak hanya itu, Abuya juga termasuk tokoh Nasional, karena berkat beliaulah juga Soekarno menjadi seorang Presiden.
Tidak heran lagi, seorang Ulama pastilah ada sesuatu yang lebih diberikan Oleh Allah SWT. Jika kita membaca buku ataupun mendengar dari orang tua masa dahulu, abuya memiliki beberapa kelebihan pada diri beliau, salah satu dari sekian banyak itu adalah JIN atau khadam JIN yang menjadi pengikut beliau. kisah ini didapati dari buku karya Tgk. Musliadi S.Pd.i : "“Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy – Syeikhul Islam Aceh Tokoh pendidikan dan Ulama ‘Arif Billah”.
Berikut kutipan kisah tersebut :
Konon diceritakan lokasi tempat berdirinya Masjid Syaikhuna ini dulunya merupakan tempat bersemayam “Putroe Baren yaitu sebangsa jin sebagaimana sudah di jelaskan pada bahagian kedua didalam buku kami. Hal ini terbukti dengan suatu kejadian pada saat Abuya sedang mengajarkan murid-murid beliau di bulan ramadhan, datanglah seorang wanita dengan postur badan yang tinggi dan berparas cantik, dengan membawa Sua (obor dari daun kelapa). Wanita ini membakar obornya pada salah satu lentera disana. Anehnya kalau biasanya orang-orang membuat obornya dari daun kelapa kering, tapi wanita ini malah membuatnya daun kelapa yang masih basah, sehingga lentera itu padam dibuanya. Yang lebih aneh lagi adalah kejadian ini bukan satu kali tapi justru terjadi beberapa kali dalam waktu yang sama. Setelah ia membakar obornya pada lentera itu, wanita ini pun pergi, lalu Abuya berkata :
“Siapa mau mematuhi kemana perginya wanita itu ?”,
salah seorang murid beliau memberanikan diri mengikuti kemana arah hilangnya wanita tersebut, anehnya tidak ditemukan apa-apa melainkan hanya seberkas sobekan kain busuk atau kain yang sudah usang saja. Akhirnya murid beliau tahu bahwa wanita itu adalah “Putro Baren”.
Unknown
7:31 AM
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Sumber :
BUKU AYAH KAMI
(Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
(Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
Kisah Abuya Muda Waly Berjumpa Dengan Jin Perempuan
Posted by SEJARAH ACEH on Saturday, March 4, 2017
Demikianlah para ulama, mereka juga diberikan kelebihan oleh Allah karena mereka pada hakikatnya juga mereka merupakan para hamba Allah yang dihormati sepertimana Rasulullah SAW. Jikalah Para Nabi diberikan kelebihan untuk membuktikan dakwah islamiyahnya maka para ulama sama seperti para nabi, namun kelebihan mereka yang diberi karamah ini adalah untuk memperkuat kembali ajaran Islamiyah. Setiap para ulama pasti memeliki kelebihan masing-masing. Baik yang terlihat atau tidak, baik yang dapat dirasakan hanya kalangan tertentu saja ataupun tidak. Inilah Ulama, bahwa mereka adalah pengganti para Nabi Allah untuk melanjutkan risalah lisan Rasulullah dimuka bumi. Maka wajarlah jika Allah juga memberikan bantuan-Nya untuk mereka.
Salah satu contoh kekaramahan yang Allah berikan kepada Ulama adalah Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy, seorang ulama besar Aceh yang telah mencetak kader-kader para ulama aceh masa kini. Berikut adalah salah satu contoh diantara kumpulan contoh kekaramahan yang dimiliki oleh Abuya.
Suatu ketika Abuya sedang duduk di kebun bunga yang ada di depan Dayah
Tuha (Mushalla Tua), tiba-tiba Abuya masuk kedalam rumah lalu mengambil
sebilah pedang dan menebas bunga-bunga yang ada disekitarnya, lalu umi Manggeng
Hj. Rasimah istri Abuya bertanya kenapa beliau merusak bunga-bunga yang indah
didalam kebun itu. Lalu Abuya berkata :
“Di Daerah Medan Sumatra Barat banyak orang Islam sedang berperang dan
mengalami kesulitan dalam menghadapi orang-orang kafir Belanda yang ada disana
maka saya membantu mereka”
Setelah beberapa lama setelah itu datanglah seorang laki-laki dari Aceh
Besar kemudian ia menceritakan bahwa :
“Beberapa waktu yang lalu saya
berangkat dari Aceh Besar menuju perbatasan Aceh dan Medan dengan sejumlah
pasukan kerajaan Aceh untuk berperang dengan Belanda disana. Pada saat demikian
datanglah Abuya Syeikh Muda Waly dengan pedangnya yang gagah perkasa menebas
tentara Belanda hingga akhirnya kemenangan berada di pihak mujahidin.”
Maka tahulah Umi bahwa apa yang terjadi di kebun bunga beberapa waktu yang
lalu itu benar adanya, bahwa Abuya menebas bunga-bunga yang ada dikebun hanya
suatu isyarat saja, tapi pada hakikatnya adalah menebas orang-orang kafir yang
ada di Medan (Wallau A’lam).[1]
Sumber :
Buku Ayah Kami
(Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
(Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
[1] Sumber : Wawancara dengan Teungku Usman Gampong Blang
Poroh seorang Alumni Dayah Darussalam semasa kepemimpinan Abuya H. Amran Waly,
dari riwayat Ummi Manggeng.
Karamah Abuya Muda Waly, "Ruh Beliau Dapat Berpindah Tempat"
Posted by SEJARAH ACEH on Friday, March 3, 2017
BREAKING NEWS :
Loading...